Imam Abul Hasan Al-Asy’ari, Perintis Teologi Moderat Ahlussunnah Wal Jama’ah
Paruh kedua abad ketiga merupakan fase penting bagi perkembangan pemikiran di dunia Islam. Masa itu diwarnai kebebasan berpikir setelah beberapa dekade sebelumnya umat Islam hidup di bawah pemerintahan represif yang menjadikan paham Mu’tazilah sebagai aqidah resmi pemerintah. Tiap orang bebas menyampaikan pendapatnya tanpa merasa takut akan mendapatkan tekanan dari penguasa.
Iklim yang kondusif bagi perkembangan pemikiran Islam ini bermula ketika al-Mutawakkil yang berkuasa dari tahun 234-247 H. Membatalkan teologi mu’tazilah sebagai aqidah resmi penguasa dan memberikan keleluasaan bagi aliran lain, khususnya Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Isu Qur’an sebagai makhluk yang banyak menjebloskan ulama non Mu’tazilah ke penjara dicabut dari peraturan pemerintah.
Pada masa ini muncul kelompok-kelompok
yang membela pendapat Ahlussunnah dengan menggunakan argumentasi rasional. Tersebutlah nama Abu Hasan al-Asy’ari di Bashra yang menyatakan dukungannya keada Ahlussunnah. Dengan metodologi rasional ia membangun teolginya, yang kemudian menjadi teologi Aswaja.
Riwayat Hidup Al-Asy’ari
Ia bernama Abu Al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Abdullah bin Musa bin Bilal bn Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asyari. Asy’ary yang dilahirkan di Bashra pada tahun 260 H. Hidup di lingkungan keluarga intelek dan terpandang. Sejak kecil ia telah belajar ilmu-ilmu agama, hingga kemudian mendapat gelar Al-Imam. Ia pernah mengikuti pengajian Abu Ishak Al-Marwazy, belajar fikih dari Ibnu Suraij dan belajar Hadis dari Zakaria bin Yahya As-Saji. Sedang ilmu kalamnya ia ambil dari seorang tokoh Mu’tazilah terkenal, Abu Ali Al-Juba’i.
Mulanya Asy’ari adalah penganut kuat
mu’tazilah. Selama empat puluh tahun ia menjadi pembela ajaran mu’tazilah. Tidak jarang ia menggantikan gurunya dalam berdebat. Namun demikian ia menyatakan keluar dari mu’tazilah dan mencabut seluruh pendapatnya yang berbau i’tizali.
Tentang keluarnya Asy’ari dari mu’tazilah ada beberapa pendapat. Konon Asy’ari pernah bermimpi bertemu Rasulullah. Dalam mimpinya ia bertanya tentang awidah-aqidah yang diragukannya dan Rasulullah menjawab, “Berpeganglah pada sunnahku”. Sejak peristiwa itu ia mengisolir diri. Setelah lima belas hari mengasingkan diri ia pergi ke masjid lalu naik mimbar dan berkata: “saya telah mendapat petunjuk Allah tentang aqidah yang benar. Dan semua itu
akutuliskan dalam buku-bukuku. Dan aku telah melepas aqidah mu’tazilah yang aku yakini selama ini seperti aku melepaskan bajuku ini”.
Sebab lain yang biasa disebutkan adalah
dialog asy’ari dengan gurunya tentang As-Sholah wa Al-Ashlah (yang baik dan terbaik). Mu’tazilah berpendapat bahwa pekerjaan Tuhan tidak pernahdi
lepas dari manfa’at. Tuhan selalu menghendaki yang baik dan terbaik. Pendapat ini dipertanyakan Asy’ari sampai kemudian terjadi perdebatan antara dia dan gurunya. Dialog itu berlangsung sebagai berikut:
Asy’ary : Bagaimana pendapat tuan
tentang nasib tiga orang bersaudara setelah mati: yang tua mati
bertakwa, yang kedua mati kafir, yang ketiga mati ketika masih kecil?
Juba’i : Yang takwa mendapatkan yang terbaik, yang kafir masuk neraka, dan yang kecil selamat dari neraka
Asy’ari : Kalau yang kecil ingin mendapatkan tempat yang lebih baik di surga, mungkinkah?
Juba’i : Tidak, karena tempat itu hanya dapat dicapai dengan jalan ibadah dan kepatuhan kepada Tuhan. Sedangkan anak kecil belum mempunyai ibadah dan kepatuhan kepada Tuhan.
Asy’ari : Kalau anak kecil itu
mengatakan kepada Tuhan, “Itu bukan salahku. Sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup, aku akan mengerjakan perbuatan baik seperti yang dilakukan oleh yang takwa itu”?
Juba’i : Allah akan menjawab kepada anak kecil itu, “aku tahu, jika engkau terus hidup, engkau akan berbuat maksiat dan engkau akan mendapat siksa. Maka, kematianmu adalah untuk keselamatanmu”
Asy’ari : Sekira saudaranya yang kafir mengatakan, “Ya Tuhanku, Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Mengapa tidak engkau lindungi kepentinganku?”
Juba’i : engkau gila!!! (dalam versi lain disebutkan bahwa Juba’i hanya terdiam dan tidak menjawab)
Terlepas dari kebenaran dua versi di
atas, barangkali ada hal yang dapat disepakati, yaitu bahwa puncak
piramida teologi Asy’ari terbangun setelah melalui fase i’tizaly yang cukup lama. Pada pembahasan nanti akan terlihat bagaimana pengaruh mu’tazilah terhadap teologi Asy;ari.
Kondisi Politik dan Ekonomi
Asy’ari hidup diantara awal paruh kedua abad 3 Hijriyah dan seperempat pertama abad 4 Hijriyah. Ia mengalami masa tujuh pemerintahan, yaitu pemerintahan Al-Mu’tamid Alallah, Al-Mu’tahid, Al-Muktafi Billah, Al-Muqtadir Billah, Al-Qohir dan Ar-Rodli Billah. Masa itu adalah masa yang penuh dengan pergolakan
politik. Perebutan kekuasaan di kalangan keluarga dari satu sisi, dan perebutan pengaruh di kalangan pembantu raja di sisi lain merupakan pemandangan yang selalu mewarnai kepemimpinan raja-raja Abasiyah. Hampir setiap pergantian kepemimpinan diwarnai dengan pertumpahan darah.
Di daerah-daerah banyak terjadi pemberontakan untuk memisahkan diri dari pemerintahan Abbasiyah di pusat. Di Timur, tentara Turki menguasai Irak. Di Barat, koalisi pasukan Arab, Barbar, dan Zinji menguasai Qoeruwan, Tahrat dan Fas. Dan pada awal abad 4 muncul tiga kekuatan yang mampu menggulingkan kekuatan Abbasiayah di beberapa daerah, masing-masing adalah kerajaan Bani Buwaih di Irak, kerajaan Hamdaniyun di Syiria, dan kerajaan Fatimiyah di
Mesir.
Rapuhnya pemerintahan Abbasiyah dibarengi dengan berkuasanya kekuatan luar atas daerah-daerah perdagangan internasional dan tergusurnya peran dunia Islam sbagai perantara perdagangan timur dan barat. Berkuasanya perdagangan Cina di timur telah menumbangkan dominasi perdagangan Islam di laut India. Para pedagang Muslim diusir dari pusat-pusat perdagangan di Cina. Hal itu terjadi setelah pemerintahan Cina yang pro Islam digantikan oleh pemerintahan
baru yang anti Islam. Di Asia Barat naiknya kekuatan militer Macedonia ke tampuk pimpinan Konstantinopel mengakibatkan terusirnya orang Islam
dari daerah yang didudukinya di Asia Kecil. Kekuasaan Konstantinopel terus melebar sampai ke daerah Irak atas, Syam, Armenia, serta berhasil
merebut kembali Cyprus dan menguasai pelayaran di laut tengah bagian timur.
Munculnya Cina di Asia timur dan
Konstantinopel di Asia Barat telah memutus jalur perdagangan dunia Islam Timur dan Dunia Islam Barat, serta mengakhiri peran pedagang muslim sebagai perantara perdagangan Asia dan Eropa.
Berkuasanya pasukan Arab Badui dan non arab yang feodalistis di daerah daerah, dan berakhirnya peran pedagang muslim sebagai perantara perdagangan Asia dan Eropa mengakhiri masa borjuisme dan kembali ke masa feodalisme. Dengan demikian Asy’ari hidup pada masa feodalisme baru.
Landasan Intelektual Pemikiran Asy’ari
Telah disinggung di atas bahwa puncak piramida teologi Asy’ari terbangun setalah melalui fase i’tizaly yang cukup lama. Karenanya untuk melacak kecenderungan intelektual Asy’ari tidak mungkin mengabaikan paham Mu’tazilah sebagai basi ilmu kalamnya. Mu’tazilah yang dikenal rasionalis pada awalnya bukan gerakan pemikiran yang berbasis rasio. Sebagaimana pemikiran lain, ia adalah reaksi atas pemikiran yang ada sebelumnya. Rasionalitas mu’tazilah sendiri tumbuh dari intensitas kajian mereka terhadap lima pokok ajaran yang mereka kembangkan, yaitu Al-Adl, At-Tauhid, Al-Wa’du wa Al-Wa’id, Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain dan Al-Amru bil Ma’ruf. Kecenderungan rasional Mu’tazilah juga dilatarbelakangi tuntutan unutk mengalahkan kelompok
agama lain dengan argumen yang dapat diterima.
Sebagai mantan pengikut Mu’tazilah, tidak mengherankan jika Asy’ari mengagumi metodologi rasional. Tetapi pergumulannya yang intens dengan ahli fikih dan ahli hadis membuatnya berdiri diantara dua kutub yang saling berseberangan: kutub ahli fikih dan ahli Hadis yang tekstualis dan kutub mu’tazilah yang rasionalis. Melihat fenomena ini Asy’ari mencoba mengambil jalan tengah antara kedua kutub tersebut. Ia tidak mengabaikan teks, tetapi juga tidak
mengagungkan rasio.
Moderasi kedua aekstrem yang dilakukan
Asy’ari, dalam praktiknya tidak dapat berpadu secara total. Rasio dan teks tidak berada pada satu wilayah, tetapi terpisah dalam wilayah yang berbeda. Dimensi rasional dalam teologi Asy’ari menempati wilayah pembuktian, sedangkan dimensi tekstual menempati wilayah substansi. Dengan kata lain, akal berfungsi sebagai alat pembuktian bagi ajaran-ajaran yang sudah diyakini benar berdasarkan teks.
Mengapa Asy’ari tidak menempatkan akal ke
dalam wilayah substansi? Menurut hemat saya, Asy’ari sudah begitu muak dengan arogansi akal yang diperankan Mu’tazilah sehingga ia tidak lagi
percaya kepada kekuatan akal dalam menemukan kebenaran. Tetapi sebagai seorang pendebat, Asy’ari masih memandang pentingnya argumentasi
rasional, dan karenanya ia menempatkan akal di belakang teks yang bersifat pasti.
Karya-Karya Asy’ari
Selama pengembaraan intelektualnya,
Asy’ari telah banyak mengahsilkan karangan. Ibnu Asakir mencatata daftar panjang buku karangan Asy’ari dan kebanyakan merupakan kanter Asy’ari terhadap aqidah sekte lain dalam Islam maupun aqidah agama lain. Dari sekian buku tercatat ada empat yang terkenal, yaitu:
- Al-Ibanah ‘An Ushul ad-Diyanah. Dalam buku ini Asy’ari condong dan menyatakan diri mengikuti mazhab Ahmad bin Hanbal
- Al-Luma’ fi ar-Roddi ala Ahli az-Zaighi wa al-Bida’. Buku ini merupakan pengejawantahan kecenderungan rasional Asy’ari dan implementasi dari moderasi ekstrem rasio dan teks.
- Maqaalat al-Islamiyyin. Buku yang ditulis secara obyektif dan jujur ini mengetengahkan pendapat-pendapat teologis sekte-sekte agama.
- Istihsan al-Khoudl Fi Ilmi al-Kalam. Sebuah buku yang membela ilmu kalam dari serangan kelompok yang anti ilmu kalam. Buku ini juga mencerminkan kecenderungan rasional Asy’ari
Tema Sentral Teologi Asy’ari
Tema sentral yang dibahas dalam teologi Asy’ari berkisar pada persoalan tauhid dan keadilan Tuhan. Dalam hal tauhid, berbeda denga mu;tazilah, Asy’ari menetapkan sifat kepada Tuhan. Tuhan mengetahui dengan sifat ilmuNya, dan mustahil Tuhan merupakan esensi ilmu itu sendiri. Menurut Asy’ari sifat berada pada zat, tetapi bukan zat, bukan pula lain dari zat.
Asy’ari juga berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat. Sebab Tuhan merupakan wujud. Dan setiap yang wujud pasti dapat dilihat. Tetapi hal itu tidak dipahami secara harfiah bahwa manusia melihat Tuhan dalam wujud benda dan pada satu arah tertentu. Penglihatan yang dimaksudkan adalah pengetahuan dan kesadaran yang didapat melalui proses yang tak dapat dibayangkan.
Dalam hal keadilan Tuhan, Asy’ari
berpendapat bahwa Tuhan maha adil. Tetapi pengertian adil bagi Asy’ari berbeda dari pengertian adil Mu’tazilah. Keadilan menurutnya adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Karena Tuhan pemilik mutlak alam semesta ini, maka apapun yang diperbuat Tuhan atas milikNya tidak dapat dapat dikatakan kezaliman. Hal ini dapat dianalogikan dengan pemilik ternak yang bebas menyembelih salah satu ternaknya dan membebaskan yang lain tanpa dikatakan zalim. Jadi, Tuhan tidak wajib berbuat baik dan terbaik kepada makhluknya. Tuhan boleh saja memasukkan orang yang berdosa ke surga dan memasukkan orang yang taat ke neraka. Jika Tuhan memasukkan orang yang taat ke surga itu semata karena karunianya.
Dari ketiga masalah di atas tampak bahwa secara substansial pendapat Asy’ari tidak berbeda dengan ulama salaf. Hanya saja dalam hal metodologi, Asy’ari menambahkan argumen rasional ke
dalam teologinya.©1997
Posting Komentar untuk "Imam Abul Hasan Al-Asy’ari, Perintis Teologi Moderat Ahlussunnah Wal Jama’ah"