Memahami Ayat Poligami Secara Utuh
Mumpung banyak yang membahas soal ini lagi dan bertanya-tanya kenapa dalam al-Qur’an Surat an-Nisa': 3 Allah memakai redaksi perintah poligami dahulu, yakni: "menikahlah dengan wanita yang engkau sukai dua, tiga dan empat", barulah kemudian monogami disebut terakhir sebagai solusi bila takut tidak adil? Apa artinya syariat asalnya adalah poligami sedangkan monogami hanyalah jalan keluar darurat bagi mereka yang tak mampu menjalankan syariat asal? Apakah bisa diartikan bahwa monogami hanya bagi penakut saja?
Untuk menjawab sederet pertanyaan di atas sebenarnya simpel, yaitu dengan membaca konteks ayat tersebut secara utuh. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu muncul sebab memotong ayatnya hingga seolah berdiri sendiri tanpa menyertakan konteks asalnya sejak awal.
Bagaimana konteks ayat itu secara utuh? Secara ringkas saya buat dalam poin-poin sebagai berikut:
1. Membaca ayat itu harus dari awal, yakni dari kalimat وان خفتم ان لا تقسطوا في اليتامى. Kalimat ini merupakan konteks pokok yang dibicarakan dalam ayat tersebut tapi sayangnya sering tidak dibaca oleh orang yang mengutip. Arti kalimat ini adalah:
"Dan jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap para gadis yatim (yang berada dalam asuhanmu)"
2. Kenapa melibatkan gadis-gadis yatim? Karena ayat ini memang turun sebagai perlindungan Allah terhadap gadis-gadis yatim.
Sebagaimana dijelaskan oleh Sayyidah Aisyah yang tercatat dalam Shahih Bukhari, latar belakangnya adalah ketika ada seorang pengasuh anak gadis yatim yang terpesona dengan gadis yatim asuhannya sendiri. Status si gadis sebagai yatim (tanpa ayah) dan kenyataan bahwa semua keperluan berikut harta si gadis diurus oleh si pengasuh (wali) itu sendiri menjadikannya merasa berhak memperlakukan si gadis seenaknya. Si pengasuh merasa tak perlu adil dalam memberikan maskawin si gadis seperti apabila dia menikahi perempuan lainnya. Maskawin dan urusan nafkahnya tak perlu sesuai standar, toh si gadis adalah anak asuhnya sendiri, begini kira-kira pikirannya bila diungkapkan.
3. Sebagai tanggapan atas kehendak zalim tersebut, Allah lantas merespon dengan firman yang secara spesifik ditujukan pada para pengasuh itu berupa perintah agar mereka menikahi perempuan lain saja, dua tiga atau empat sekaligus. Redaksi Allah adalah:
فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَاۤءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَـٰثَ وَرُبَـٰعَ
"maka nikahilah perempuan (lainnya) yang kamu sukai: dua, tiga atau empat."
Perintah ini sebenarnya bukan dalam rangka memerintahkan poligami melainkan sebagai respon (jawab syarat) terhadap konteks sebelumnya. Poligami saat itu sudah mentradisi sejak sebelum islam, tak perlu diperintahkan lagi dan tak relevan bila poligami dijadikan solusi bagi ketidakadilan terhadap anak yatim.
Redaksi perintah poligami ini bila diungkapkan dengan bahasa yang agak vulgar, maka kurang lebih seperti ini maksudnya:
"Hai pengurus anak yatim, bila menikahi satu anak yatimmu hanya membuatmu berlaku semena-mena terhadap mereka, maka nikahi saja wanita lain yang mana kamu takkan bisa seenaknya berlaku semena-mena terhadap mereka. Silakan nikahi saja dua, tiga atau empat yang kamu sukai hingga kamu puas, yang penting kamu berlaku adil tak semena-mena".
Dengan demikian sebenarnya yang ditonjolkan dalam perintah itu bukan jumlah wanitanya tapi keadilannya. Jangankan satu, sampai empat wanita pun boleh selama kamu adil alias tidak zalim (semena-mena)
4. Kemudian Allah memberi penegasan lagi terhadap pengasuh gadis yatim itu sebagai berikut:
فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُوا۟ فَوَ ٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَیۡمَـٰنُكُمۡۚ
"Tetapi jika kalian khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau pada budak kalian saja".
Dengan bahasa lain yang lebih vulgar, maksudnya kurang lebih seperti ini:
"Wahai pengasuh gadis yatim, tapi bila menikahi perempuan lain itu dengan jumlah berapa pun antara 2-4 itu ujung-ujungnya juga dikhawatirkan kamu tidak bisa adil alias semena-mena terhadap mereka, maka nikahi satu orang saja. Atau kalau kamu punya budak perempuan, maka cukup kumpuli budakmu itu saja".
Dari sini dapat dipahami bahwa titik tekan yang dibahas adalah kewajiban berlaku adil suami pada istrinya. Baik jumlah istrinya satu, dua, tiga atau empat.
5. Karena potensi berlaku semena-mena (zalim) terhadap satu gadis yatim yang berada dalam asuhan si pengasuh (wali) cukup besar, sedangkan potensi berlaku semena-mena pada perempuan lain dengan cara poligami juga besar, maka kemudian Allah memerintahkan agar si pengasuh menikah secara monogami dengan gadis lain saja.
Opsi ini adalah opsi yang paling sedikit kemungkinan semena-menanya. Inilah yang kemudian dinyatakan oleh Allah sebagai pamungkas ayat ini:
ذَ ٰلِكَ أَدۡنَىٰۤ أَلَّا تَعُولُوا۟
"Yang demikian itu (monogami dengan perempuan lain) lebih berpotensi agar kamu tidak berbuat zalim/semena-mena".
Poin akhir ini menunjukkan bahwa aturan utama yang hendak ditekankan dalam ayat ini adalah berlaku adil pada istri, dan kemungkinan terbesar keadilan ini dapat dicapai dengan pernikahan monogami alias satu istri. Jadi yang sebenarnya disarankan adalah monogami ini dan ini kondisi idealnya.
6. Dengan melihat konteks ayat itu secara utuh dapat diketahui bahwa sebenarnya ayat itu adalah ayat perlindungan bagi gadis yatim, bukan ayat poligami sebab unsur poligaminya hanyalah bahasan sisipan, bukan inti persoalan.
Akan tetapi para ulama memang terbiasa menyimpulkan suatu hukum dari berbagai bahasan sisipan. Dalam ayat ini, kemudian disimpulkan beberapa poin sebagai berikut:
a. Berlaku adil pada istri adalah wajib, baik dalam pernikahan monogami atau poligami. Istri tak boleh diperlakukan semena-mena atau zalim. Jangan mentang-mentang istrinya lemah secara ekonomi lantas ditindas; jangan mentang-mentang istrinya tidak punya pelindung lantas diperlakukan seenaknya. Dan, bila berpoligami jangan mentang mentang ada satu yang paling disukai lantas yang lain diabaikan.
b. Poligami adalah boleh. Boleh/mubah artinya tidak wajib dan tidak pula sunnah. Redaksi perintah poligami di awal ayat itu menjadi netral dengan adanya redaksi perintah monogami di akhirnya.
Status boleh alias netral ini seperti status hukum makan dua piring. Silakan makan dua piring atau lebih bila mau, tapi itu tak disarankan. Bahkan, bisa saja dalam kondisi khusus di tempat khusus dibuat aturan dilarang makan dua piring sebab berpotensi membuat ngantuk dan perutnya gendut. Sah-sah saja melarang hal mubah bila memang diperlukan dalam kondisi tertentu. Yang tidak boleh adalah melarang secara mutlak yang berarti mengharamkan sesuatu yang halal.
Jadi, tak masalah bila seorang istri, kawan atau saudara kemudian berkata: "Kamu jangan menikah lagi!" dengan alasan tertentu yang dibenarkan. Sebagaimana juga tak masalah bila seorang suami mau menikah lagi tatkala alasannya memang dibenarkan dan syarat keadilannya terpenuhi. Yang namanya mubah, kadang bisa dilarang, dan kadang bisa juga disarankan dalam kondisi tertentu.
c. Batas poligami adalah 4, kecuali bagi Nabi. Ini kemudian ditegaskan dalam hadis.
d. Disarankan agar si suami menikah dengan perempuan yang cocok dengan seleranya sendiri (ma thaba lakum), bukan cocok dengan selera ibunya, bapaknya, keluarganya, temannya atau tetangganya saja. Ini agar pernikahannya berjalan baik.
Semoga bermanfaat.
Untuk menjawab sederet pertanyaan di atas sebenarnya simpel, yaitu dengan membaca konteks ayat tersebut secara utuh. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu muncul sebab memotong ayatnya hingga seolah berdiri sendiri tanpa menyertakan konteks asalnya sejak awal.
Bagaimana konteks ayat itu secara utuh? Secara ringkas saya buat dalam poin-poin sebagai berikut:
1. Membaca ayat itu harus dari awal, yakni dari kalimat وان خفتم ان لا تقسطوا في اليتامى. Kalimat ini merupakan konteks pokok yang dibicarakan dalam ayat tersebut tapi sayangnya sering tidak dibaca oleh orang yang mengutip. Arti kalimat ini adalah:
"Dan jika kamu khawatir tidak mampu berlaku adil terhadap para gadis yatim (yang berada dalam asuhanmu)"
2. Kenapa melibatkan gadis-gadis yatim? Karena ayat ini memang turun sebagai perlindungan Allah terhadap gadis-gadis yatim.
Sebagaimana dijelaskan oleh Sayyidah Aisyah yang tercatat dalam Shahih Bukhari, latar belakangnya adalah ketika ada seorang pengasuh anak gadis yatim yang terpesona dengan gadis yatim asuhannya sendiri. Status si gadis sebagai yatim (tanpa ayah) dan kenyataan bahwa semua keperluan berikut harta si gadis diurus oleh si pengasuh (wali) itu sendiri menjadikannya merasa berhak memperlakukan si gadis seenaknya. Si pengasuh merasa tak perlu adil dalam memberikan maskawin si gadis seperti apabila dia menikahi perempuan lainnya. Maskawin dan urusan nafkahnya tak perlu sesuai standar, toh si gadis adalah anak asuhnya sendiri, begini kira-kira pikirannya bila diungkapkan.
3. Sebagai tanggapan atas kehendak zalim tersebut, Allah lantas merespon dengan firman yang secara spesifik ditujukan pada para pengasuh itu berupa perintah agar mereka menikahi perempuan lain saja, dua tiga atau empat sekaligus. Redaksi Allah adalah:
فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَاۤءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَـٰثَ وَرُبَـٰعَ
"maka nikahilah perempuan (lainnya) yang kamu sukai: dua, tiga atau empat."
Perintah ini sebenarnya bukan dalam rangka memerintahkan poligami melainkan sebagai respon (jawab syarat) terhadap konteks sebelumnya. Poligami saat itu sudah mentradisi sejak sebelum islam, tak perlu diperintahkan lagi dan tak relevan bila poligami dijadikan solusi bagi ketidakadilan terhadap anak yatim.
Redaksi perintah poligami ini bila diungkapkan dengan bahasa yang agak vulgar, maka kurang lebih seperti ini maksudnya:
"Hai pengurus anak yatim, bila menikahi satu anak yatimmu hanya membuatmu berlaku semena-mena terhadap mereka, maka nikahi saja wanita lain yang mana kamu takkan bisa seenaknya berlaku semena-mena terhadap mereka. Silakan nikahi saja dua, tiga atau empat yang kamu sukai hingga kamu puas, yang penting kamu berlaku adil tak semena-mena".
Dengan demikian sebenarnya yang ditonjolkan dalam perintah itu bukan jumlah wanitanya tapi keadilannya. Jangankan satu, sampai empat wanita pun boleh selama kamu adil alias tidak zalim (semena-mena)
4. Kemudian Allah memberi penegasan lagi terhadap pengasuh gadis yatim itu sebagai berikut:
فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُوا۟ فَوَ ٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَیۡمَـٰنُكُمۡۚ
"Tetapi jika kalian khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja atau pada budak kalian saja".
Dengan bahasa lain yang lebih vulgar, maksudnya kurang lebih seperti ini:
"Wahai pengasuh gadis yatim, tapi bila menikahi perempuan lain itu dengan jumlah berapa pun antara 2-4 itu ujung-ujungnya juga dikhawatirkan kamu tidak bisa adil alias semena-mena terhadap mereka, maka nikahi satu orang saja. Atau kalau kamu punya budak perempuan, maka cukup kumpuli budakmu itu saja".
Dari sini dapat dipahami bahwa titik tekan yang dibahas adalah kewajiban berlaku adil suami pada istrinya. Baik jumlah istrinya satu, dua, tiga atau empat.
5. Karena potensi berlaku semena-mena (zalim) terhadap satu gadis yatim yang berada dalam asuhan si pengasuh (wali) cukup besar, sedangkan potensi berlaku semena-mena pada perempuan lain dengan cara poligami juga besar, maka kemudian Allah memerintahkan agar si pengasuh menikah secara monogami dengan gadis lain saja.
Opsi ini adalah opsi yang paling sedikit kemungkinan semena-menanya. Inilah yang kemudian dinyatakan oleh Allah sebagai pamungkas ayat ini:
ذَ ٰلِكَ أَدۡنَىٰۤ أَلَّا تَعُولُوا۟
"Yang demikian itu (monogami dengan perempuan lain) lebih berpotensi agar kamu tidak berbuat zalim/semena-mena".
Poin akhir ini menunjukkan bahwa aturan utama yang hendak ditekankan dalam ayat ini adalah berlaku adil pada istri, dan kemungkinan terbesar keadilan ini dapat dicapai dengan pernikahan monogami alias satu istri. Jadi yang sebenarnya disarankan adalah monogami ini dan ini kondisi idealnya.
6. Dengan melihat konteks ayat itu secara utuh dapat diketahui bahwa sebenarnya ayat itu adalah ayat perlindungan bagi gadis yatim, bukan ayat poligami sebab unsur poligaminya hanyalah bahasan sisipan, bukan inti persoalan.
Akan tetapi para ulama memang terbiasa menyimpulkan suatu hukum dari berbagai bahasan sisipan. Dalam ayat ini, kemudian disimpulkan beberapa poin sebagai berikut:
a. Berlaku adil pada istri adalah wajib, baik dalam pernikahan monogami atau poligami. Istri tak boleh diperlakukan semena-mena atau zalim. Jangan mentang-mentang istrinya lemah secara ekonomi lantas ditindas; jangan mentang-mentang istrinya tidak punya pelindung lantas diperlakukan seenaknya. Dan, bila berpoligami jangan mentang mentang ada satu yang paling disukai lantas yang lain diabaikan.
b. Poligami adalah boleh. Boleh/mubah artinya tidak wajib dan tidak pula sunnah. Redaksi perintah poligami di awal ayat itu menjadi netral dengan adanya redaksi perintah monogami di akhirnya.
Status boleh alias netral ini seperti status hukum makan dua piring. Silakan makan dua piring atau lebih bila mau, tapi itu tak disarankan. Bahkan, bisa saja dalam kondisi khusus di tempat khusus dibuat aturan dilarang makan dua piring sebab berpotensi membuat ngantuk dan perutnya gendut. Sah-sah saja melarang hal mubah bila memang diperlukan dalam kondisi tertentu. Yang tidak boleh adalah melarang secara mutlak yang berarti mengharamkan sesuatu yang halal.
Jadi, tak masalah bila seorang istri, kawan atau saudara kemudian berkata: "Kamu jangan menikah lagi!" dengan alasan tertentu yang dibenarkan. Sebagaimana juga tak masalah bila seorang suami mau menikah lagi tatkala alasannya memang dibenarkan dan syarat keadilannya terpenuhi. Yang namanya mubah, kadang bisa dilarang, dan kadang bisa juga disarankan dalam kondisi tertentu.
c. Batas poligami adalah 4, kecuali bagi Nabi. Ini kemudian ditegaskan dalam hadis.
d. Disarankan agar si suami menikah dengan perempuan yang cocok dengan seleranya sendiri (ma thaba lakum), bukan cocok dengan selera ibunya, bapaknya, keluarganya, temannya atau tetangganya saja. Ini agar pernikahannya berjalan baik.
Semoga bermanfaat.
Posting Komentar untuk "Memahami Ayat Poligami Secara Utuh"