Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi
Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (Kwitang)
Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi adalah putera dari Habib Abdurrahman Al-Habsyi. Ayah beliau tinggal di Jakarta. Ibunda beliau yaitu Nyai Salmah berasal dari Jatinegara, Jakarta Timur. Dalam perkawinannya dengan Al-Habib Abdurrahman Al-Habsyi lama sekali tidak memperoleh seorang putera pun. Pada suatu ketika Nyai Salmah bermimpi menggali sumur dan sumur tersebut airnya melimpah-limpah hingga membanjiri sekelilingnya. Lalu diceritakanlah mimpinya itu kepada suaminya.
Mendengar mimpi istrinya, Al-Habib Abdurrahman segera menemui Al-Habib Syekh bin Ahmad Bafaqih untuk menceritakan dan menanyakan perihal mimpi istrinya tersebut. Lalu Al-Habib Syeikh menerangkan tentang perihal mimpi tersebut bahwa Nyai Salmah istri Al-Habib Abdurrahman akan mendapatkan seorang putra yang shaleh dan ilmunya akan melimpah-limpah keberkatannya.
Apa yang dikemukakan oleh Al-Habib Syeikh itu tidak berapa lama menjadi kenyataan. Nyai Salmah mengandung dan pada hari Minggu tanggal 20 Jumadil ‘Awal 1286 bertepatan tanggal 20 April 1870 lahirlah seorang putra yang kemudian diberi nama Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi.
Al-Habib Abdurrahman Al-Habsyi tidak lama hidup mendampingi putra yang beliau cintai tersebut. Beliau berpulang ke Rahmatulloh ketika putra beliau masih berumur 10 tahun. Tetapi sebelum beliau wafat, beliau sempat menyampaikan suatu wasiat kepada istrinya agar putra beliau hendaknya dikirim ke Hadramaut dan Makkah untuk belajar ilmu agama Islam di tempat-tempat tersebut.
Habib Abdurrahman wafat pada tahun 1881 M, dimakamkan di Cikini, belakang Taman Ismail Marzuki, yang kala itu milik Raden Saleh. Adapun kakeknya, Habib Abdullah bin Muhammad Al-Habsyi, dilahirkan di Pontianak, Kalimantan Barat. Habib Abdullah menikah di Semarang dan dalam pelayaran kembali ke Pontianak, beliau wafat, karena kapalnya karam. Adapun Habib Muhammad Al-Habsyi, kakek buyut Habib Ali Kwitang datang dari Hadramaut, lalu bermukim di Pontianak dan mendirikan Kesultanan Hasyimiah dengan para Sultan dari Klan Algadri.
Untuk memenuhi wasiat suaminya, Nyai Salmah menjual gelang satu-satunya perhiasan yang dimilikinya untuk biaya perjalanan Habib Ali Al-Habsyi ke Hadramaut dan Makkah. Karena di waktu wafatnya Al-Habib Abdurrahman Alhabsyi tidak meninggalkan harta benda apapun. Dalam usia 10 tahun berangkatlah Al-Habib Ali Al-Habsyi dari Jakarta menuju Hadramaut, dengan bekal sekedar ongkos tiket kapal laut sampai di tempat yang dituju.
Sesampainya di Hadramaut, Al-Habib Ali sebagai seorang anak yang shaleh, tidak mensia-siakan masa mudanya yang berharga itu untuk menuntut ilmu yang bermanfaat, sambil mencari rizki yang halal untuk bekal hidup beliau selama menuntut ilmu di tempat yang jauh dari ibunya. Sebab beliau menyadari bahwa ibunya tidak mampu untuk mengirimkan uang kepada beliau selama menuntut ilmu di luar negeri tersebut.
Diantara pekerjaan beliau selama di Hadramaut dalam mencari rizki yang halal untuk bekal menuntut ilmu ialah mengambil upah menggembala kambing. Pekerjaan menggembala kambing ini rupanya telah menjadi kebiasaan kebanyakan para sholihin, terutama para Anbiya’. begitulah hikmah Ilahi dalam mendidik orang-orang besar yang akan diberikan tugas memimpin umat ini.
Majelis Ta'lim Kwitang hingga saat ini masih dihadiri banyak orang
Di antara guru-guru beliau yang banyak memberikan pelajaran dan mendidik beliau selama di Hadramaut antara lain:
- Al-’Arif billah Al-Imam Al-Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi (Shahibul maulid di Seiwun)
- Al-Imam Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-’Atthas (Huraidha)
- Al-Habib Al-Allammah Abdurrahman bin Muhammad Al-Masyhur (Mufti Hadramaut)
- Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-Aydrus (Bor)
- Al-Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhor (Guwairah)
- Al-Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi (Ghurfah)
- Al-Habib Muhammad bin Shaleh bin Abdullah Al-Atthas (Wadi Amed)
- Syekh Hasan bin Mukhandan (Bor)
Setelah belajar di Hadramaut, beliau melanjutkan pelajaran di tanah suci Makkah, Habib Ali juga pernah belajar dan mengajar di Masjidil Haram, Makkah. Di sana beliau mendapat ijazah dari gurunya, Syekh Umar bin Muhammad Al-Azabi, untuk menyelenggarakan pembacaan syair Maulid Azabi, karya Syekh Muhammad bin Muhammad Al-Azabi. Guru-guru beliau yang lainnya di Mekkah, diantaranya:
Mufti Makkah Al-Imam Muhammad bin Husin Alhabsyi
Sayid Bakri Syaththa’
Syekh Muhammad Said Babsail
Syekh Umar Hamdan
Berkat doa ibu dan ayah beliau, juga berkat doa para datuk-datuk beliau, terutama datuk beliau Rasullulloh SAW, dalam masa 6,5 tahun belajar di luar negeri Al-Habib Ali telah memperoleh ilmu Islam yang murni, luas dan mendalam yang dibawanya kembali ke indonesia.
Meskipun demikian, beliau adalah seorang yang tidak sombong atas ilmunya. Beliau tidak menganggap bahwa ilmu yang dimilikinya sudah cukup. Beliau masih dan selalu mengambil manfaat dari para alim ulama yang ada di Indonesia saat itu. Beliau mengambil ilmu dari mereka. Diantara para guru beliau yang ada di Indonesia adalah:
- Al-Habib Muhammad bin Thahir Al-Haddad (Tegal)
- Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi (Surabaya)
- Al-Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas (Empang, Bogor)
- Al-Habib Husin bin Muhsin Asy-Syami Al-Atthas (Jakarta)
- Al-Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar (Bondowoso)
- Al-Habib Ahmad bin Muhsin Al-Haddar (Bangil)
- Al-Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad (Bangil)
- Al-Habib Utsman bin Abdullah bin 'Aqil Bin Yahya (Mufti Jakarta)
Selain di pengajian tetap di majlis ta’lim Kwitang yang diadakan setiap hari Minggu pagi sejak kurang lebih 70 tahun yang lalu hingga sekarang dengan kunjungan umat Islam yang berpuluh-puluh ribu, beliau juga aktif menjalankan dakwah di lain-lain tempat di seluruh Indonesia. Bahkan hingga ke desa-desa yang terpencil di lereng-lereng gunung. Selain itu Al-Habib Ali Al-Habsyi juga berdakwah ke Singapura, Malaysia, India, Pakistan, Srilanka dan Mesir. Beliau juga sempat mendirikan sebuah madrasah yang bernama Unwanul Ulum. Beliau banyak juga mendirikan langgar dan musholla, yang kemudian diperbesar menjadi masjid. Selain itu beliau juga sempat menulis beberapa kitab, diantaranya Al-Azhar Al-Wardiyyah fi As-Shuurah An-Nabawiyyah dan Ad-Durar fi As-Shalawat ala Khair Al-Bariyyah.
Beliau selain ahli dalam menyampaikan dakwah ilallah, beliau juga terkenal dengan akhlaknya yang tinggi, baik terhadap kawan maupun terhadap orang yang tidak suka kepadanya. Semuanya dihadapinya dengan ramah-tamah dan sopan santun yang tinggi. Terlebih lagi khidmat beliau terhadap ibunya adalah sangat luar biasa. Dalam melakukan rasa bakti kepada ibunya sedemikian ikhlas dan tawadlu’nya, sehingga tidak pernah beliau membantah perintah ibunya. Biarpun beliau sedang berada di tempat yang jauh, misalnya sewaktu beliau sedang berdakwah di Surabaya ataupun di Singapura, bila beliau menerima telegram panggilan dari ibunya, segera beliau pulang secepat-cepatnya ke Jakarta untuk memenuhi panggilan ibunya tersebut.
Maka tidak heran apabila ilmu beliau sangat berkat, dan dakwah beliau dimana-mana mendapat sambutan yang menggembirakan. Setiap orang yang jumpa dengan beliau, apalagi sampai mendengarkan pidatonya, pastilah akan tertarik. Terutama di saat beliau mentalqinkan dzikir atau membaca sholawat dengan suara mengharukan, disertai tetesan air mata, maka segenap yang hadir turut meneteskan air mata. Dan yang demikian itu tidak mungkin jika tidak dikarenakan keluar dari suatu hati yang ikhlas, hati yang disinari oleh nur iman dan nur mahabbah kepada Allah dan Rasul-Nya SAW.
Menurut keterangan cucunya, Habib Abdurrahman, sebelum mendapat izin gurunya, Habib Ahmad bin Hasan Al-Aththas, Habib Ali belum berani mengenakan imamah alias serban. Baru setelah diizinkan, beliau menggunakan setiap saat.
"Kakek saya selalu menyelipkan surat gurunya itu di sela-sela imamah yang dikenakan. Ketika beliau wafat, sesuai wasiatnya, imamah dan surat itu dimasukkan ke dalam makamnya. Selain juga abwa (selempang) ketika duduk, serban dari Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, dan seuntai tasbih." Tutur Habib Abdurrahman Al-Habsyi.
Beliau mulai berdakwah di samping berniaga di berbagai pelosok ibu kota. Salah satu syiar islamnya adalah menyelenggarakan Maulid dengan pembacaan Maulid Azabi setiap tanggal 12 Rabi'ul awal.
"sebelum mensyiarkan Simtud Duror, beliau mensyiarkan Maulid Azabi selama belasan kali. Kelebihan Azabi, bahasanya enteng dan ceritanya tak terlalu bertele-tele. Jadi boleh dibilang, Habib Ali juga penggerak Maulid Azabi". Kata Habib Abdurrahman Al-Habsyi.
Pada tahun 1919, Habib Ali Kwitang mendapat mandat untuk mensyiarkan Maulid Simtud Duror dari gurunya, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, bahkan isyarat dari Rasulullah SAW. Maka pada tahun 1920, Habib Ali Kwitang mulai menggelar Maulid dengan membaca Simtud Duror di kawasan Tanah Abang. Dan pada tahun 1937, acara maulid diselenggarakan di Kwitang, Jakarta pusat. Pembacaan maulid Simtud Duror pertama kali setelah Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (Penyusun Simtud Duror) wafat; digelar di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, di majlis Ta'lim yang diasuh Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi. Belakangan Maulid Simtud Duror dibaca di Majlis Ta'lim di Tegal, Jawa Tengah, kemudian di Bogor, selama beberapa tahun, lalu masjid Ampel Surabaya.
Selama hayatnya, Habib Ali Kwitang melaksanakan Maulid dengan pembacaan Simtud Duror, rutin setiap akhir kamis atau kamis terakhir bulan rabi'ul awal sebanyak 51 kali. Di tangan beliau, Maulid Simtud Duror bekembang dengan pesat dan dikunjungi jamaah bukan hanya dari masyarakat Jabotabek, tapi juga dari daerah-daerah lain dan bahkan dari Negara-negara sahabat.
Dalam dakwahnya selama 80 tahun, Habib Ali Kwitang selalu menganjurkan agar umat islam senantiasa berbudi luhur, memegang teguh ukhuwah islamiyah dan meneladani keluhuran budu Rasulullah SAW, beliau juga menganjurkan kepada kaum ibu untuk menjadi tiang masyarakat dan Negara, dengan mendidik anak-anak agar menjadi manusia yang taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Akhirnya sampailah waktu dimana beliau memenuhi panggilan Allah. Beliau berpulang ke haribaan Allah pada hari Minggu tanggal 20 Rajab 1388 bertepatan dengan 13 Oktober 1968, di tempat kediaman beliau di Kwitang Jakarta, dalam usia 102 tahun menurut Hijriyah atau usia 98 tahun menurut perhitungan Masehi. Ungkapan duka cita mengiringi kepergian beliau. Masyarakat berbondong-bondong hadir mengikuti prosesi pemakaman beliau… dalam suasana sendu dan syahdu. Seorang ulama besar telah berpulang, namun jasa-jasa dan ahklak mulia beliau masih tetap terkenang…menembus batasan ruang dan zaman.
TVRI yang merupakan satu-satunya stasiun televisi kala itu, menyiarkan berita duka cita wafatnya beliau. Ribuan orang berbondong-bondong melakukan takziah ke kediamannya di Kwitang, Jakarta pusat; Presiden Soeharto mengirimkan utusan khusus untuk menyatakan belasungkawa, sementara sejumlah menteri dean pejabat tinggi Negara berdatangan memberikan penghormatan terakhir. Sejumlah murid Almarhum dari seluruh Jawa, bahkan seluruh Indonesia dan luar negeri, juga datang bertakziah.
Sebelum jenazah dimakamkan di masjid Ar-Riyadh yang dipimpinnya sejak beliau muda, Habib Salim bin Jindan, yang sering berdakwah bersama almarhum, membaiat Habib Muhammad, putra almarhum, sebagai penerusnya. Beliau berpesan agar meneruskan perjuangan almarhum dan memegang teguh aqidah Alawiyyin.
Ada kisah menarik sebelum almarhum wafat. Suatu hari, beliau minta tiga orang kiyai kondang asal Jakarta maju kahadapannya. Mereka adalah KH. Abdullah Syafi'i , KH.Thahir Rohili dan KH. Fathullah Harun. Habib ali mempersaudarakan mereka dengan putranya, Habib Muhammad. Dalam peristiwa mengharukan yang disaksikan ribuan jamaah itu, Habib Ali berharap, keempat ulama yang dipersaudarakan itu terus mengumandangkan dakwah islam.
Harapan Habib Ali menjadi kenyataan. Habib Muhammad meneruskan tugas ayahandanya memimpin majlis ta'lim Kwitang selama 26 tahun; KH. Abdullah Syafi'i sejak 1971 hingga 1985 memimpin majlis Taklim Asy-Syafi'iyah; K.H. Thahir Rohili memimpin majlis Ta'lim Ath-Thahiriyah; sedangkan KH. Fathullah Harun belakangan menjadi ulama terkenal di Malaysia.
Tidak mengherankan jika ketiga majelis Taklim tersebut menjadikan kitab An-Nashaihud Diniyah, karya Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad Shahibur Ratib, sebagai pegangan. Sebab kitab itu juga menjadi rujukan Habib Ali Kwitang.
Setelah Habib Ali wafat, syiarnya dilanjutkan putranya, Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi yang semasa hidupnya menyelenggarakan maulid sebanyak 26 kali, pada waktu dan tempat yang sama. Sebelum wafat, Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi membuat wasiat berkenaan dengan kepengurusan Majlis Ta'lim Habib Ali Kwitang yang isinya agar putranya Habib Abdurrahman Al-Habsyi meneruskan perjuangan syiar islam Majlis Taklim termasuk meneruskan menyelenggarakan maulid Simtud Duror setiap kamis akhir bulan Rabiul awal.
(No. 09 / Tahun IV / 24 April - 7 Mei 2006 & No.10 / tahun III / 9 - 22 Mei 2005)
Detik-detik Kewafatan Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang)
Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Habib Ali Kwitang) sebelum akhir hayatnya pada tahun 1968 mengalami pingsan selama kurang lebih 40 hari. Beliau hanya berbaring di tempat tidurnya tanpa sadarkan diri. Dalam keadaan itu beliau senantiasa disuapi air zamzam oleh putranya sebagai pengganti makanan yang masuk ke dalam tubuhnya.40 hari kemudian, akhirnya Habib Ali Al-Habsyi mulai sadar. Dipanggillah putranya: “Ya Muhammad, antar Abah ke Hammam (kamar mandi) untuk bersih-bersih diri.”
Mendengar ucapan ayahandanya seperti itu, Habib Muhammad merasa sangat senang karena ayahnya sudah berangsur sembuh. Diantarlah ayahnya oleh Habib Muhammad ke kamar mandi untuk bersih-bersih diri.
Usai Habib Ali Al-Habsyi mandi dan berwudlu', beliau duduk di tempat tidurnya dan meminta dipakaikan pakaian kebesarannya yaitu jubah, imamah dan rida’nya. Lalu beliau meminta putranya untuk membacakan qashidah “Jadad Sulaima” yang menjadi kegemaran beliau. Qashidah tersebut adalah karangan guru beliau, yaitu al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (Shahib Simthud Durar). “Ya Muhammad, aku lihat Rasulullah sudah hadir. Bacalah qashidah Jadad Sulaima. Lekaslah baca, ayo Bismillah!”
Mendengar ucapan ayahnya, segera Habib Muhammad membacakan qashidah tersebut sambil menangis dan tidak mampu menyelesaikan qashidah tersebut. Akhirnya yang melanjutkan qashidahnya adalah Habib Husein bin Thaha Al-Haddad (ayah dari Kak Diding Al-Haddad).
Setelah selesai pembacaan qashidah tersebut, Habib Ali Al-Habsyi berkata: “Ya Muhammad, hari apakah ini?”
Habib Muhammad menjawab: “Hari Ahad ya Abah. Jamaah sudah penuh hadir di Majelis.”
Kemudian Habib Ali Al-Habsyi kembali berkata: “Ya Muhammad, kirimkan salamku pada seluruh jamaah. Dan pintakan maaf atas diriku pada seluruh jamaah. Pintakan maaf untukku pada mereka. Sesungguhnya diri ini tidak lama lagi, karena sudah datang Rasulullah dan datuk-datuk kita.”
Dengan perasaan sedih yang mendalam, Habib Muhammad pun akhirnya menyampaikan pesan ayahnya pada semua jamaah yang hadir di Majelis Ta’lim Kwitang hari Minggu pagi itu. Tidak lama setelah itu, Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sebelum wafatnya, beliau mengajak kepada yang berada di sekitarnya untuk membaca talqin dzikir “Laa Ilaaha Illallah”.
Semua yang hadir, termasuk Habib Ali bin Husein Al-Atthas (Habib Ali Bungur), Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, dan para keluarga mengikuti ucapan Habib Ali Al-Habsyi yang semakin lama semakin perlahan hingga hembusan nafasnya yang terakhir kali.
Akhirnya al-Habib Ali Al-Habsyi wafat di pangakuan al-Habib Ali bin Husein Alattas dalam keadaan berpakaian kebesarannya. Al-Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi lahir di Jakarta pada hari Ahad 20 Jumadil Ula 1286 H/20 April 1870 M, dan wafat hari Ahad 20 Rajab 1388 H/13 Oktober 1968 M.
(Kisah dari Ust. Antoe Djibrel/Khadim MT Kwitang yang beliau dapatkan dari Alm. al-Habib Muhammad bin Ali Al-Habsyi).
Radhiyallahu anhu wa ardhah…
KEDEKATAN ULAMA NU DENGAN HABIB ALI BIN ABDURRAHMAN AL-HABSYI KWITANG
Perlu diketahui bahwa tatkala organisasi NU akan masuk ke Batavia/Jakarta, para Ulama NU terlebih dulu meminta restu Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi Kwitang, lalu Habib Ali meminta kepada KH. Ahmad Marzuki bin Mirshod muara untuk melihat perkembangan NU bilkhusus di daerah Jombang,untuk melihat NU secara lebih dekat.
Setelah sekembalinya KH. Ahmad Marzuki bin Mirshod beliau khabarakan kepada Habib Ali tentang Organisasi NU yang didirikan oleh Para Ulama Ahlussunah Waljamaah, lalu Habib Ali memerintahkan segenap murid-muridnya untuk membantu Perjuangan NU dan terjun langsung dalam organisasi tersebut.
Diantara para Ulama Betawi yang merupakan Murid dari Unwanul Falah yang terjun didalamnya adalah
● KH Naim (ayah KH Abdul Hay Naim)
● KH Thohir Rohili
● KH Ahmad Mursidi
● KH Ali Sibro Malisi
Dan para Ulama lainnya serta seluruh Murid dan Putra dari KH Ahmad Marzuki pun turut serta.
KH. Hasyim Asy'ari bila datang ke Betawi menyempatkan diri untuk datang dan hadir di Pengajian Hari Minggu paginya Habib Ali di Kwitang, dan KH. Hasyim Asyari mengingatkan kepada para putranya bila ke Betawi untuk menemui dan meminta Nasehat serta Doa Dari Habib Ali dimana sama kita ketahui dikala KH. Wahid Hasyim ditunjuk sebagai mentri oleh Bung Karno hubungan KH. Hasyim dilanjutkan oleh Sang Putra dengan seringnya bersilaturrahmi ke pada Habib Ali, bahkan sang Cucu Abdurrahman Wahid/Gus Dur mengaji dan membaca Kitab di depan Habib Ali, sebagaimana langsung dikatakan oleh GusDur sendiri bahwa beliau mengkhatamkan beberapa kitab kecil di hadapan Habib Ali.
"Saya ini waktu kecil dibawa ayah saya menemui Habib Ali Kwitang, saya tanya kepada ayah saya ....... siapa Beliau, apa sama dengan Mbah yang ada dikampung
Lalu ayah saya bilang ....... beliau adalah Habib Ali Al-Habsyi cucunya Kanjeng Nabi SAW, yang merupakan Ulama Besarnya Tanah Betawi dan menjadi Guru Besar Ulama untuk orang Betawi, mendengar begitu ya saya bilang sama ayah saya dan meminta idzin untuk ngambil Barakah dari beliau dan ingin membaca Kitab ........ Ya Walaupun itu kitabnya kitab kecil (maksudnya tidak tebal) yang penting membaca depan Habib. Ya Alhamdulillah biar begini, saya ini sudah Khatam banyak Kitab walau kitabnya itu ndak besar di hadapan seorang Ulama besar dari keluarganya Rasulullah SAW" (di sampaikan di acara Maulid Nabi SAW Tahun1990-an di daerah Comal)
Belum lagi tatkala PBNU di bawah kepemimpinan KH. Idham Khalid, terasa makin erat Hubungan Para Habaib dan Ulama NU di Betawi ini, sampai sampai Habib Ali menganggab KH. Idham Khalid adalah anaknya sendiri, beberapa kali Habib Ali menghadiri acara acara NU baik rapat Akbar dan Musyawarah Nasional yang diadakan di Betawi, bahkan rombongan para Kiai dari Jawa bila NU mengadakan acara di Betawi selalu akan menyempatkan Hadir di Majlisnya Habib Ali di Kwitang, sebagaimana pernah di pimpin oleh KH. Wahab Hasbullah didampingi oleh KH. Bagir Marzuqi.
Begitu indahnya Hubungan NU dan Habaib di Jakarta sudah ada sejak dulu dan KH. Abdurrahman Wahid dikala beliau menjadi Presiden beliau menyempatkan untuk mengambil keberkahan dan berziarah ke Makam Habib Ali Al-Habsyi di Kwitang yang merupakan Guru beliau juga karena dimasa kecilnya pernah membaca Kitab di hadapan Langsung Habib Ali.
Keindahan yang sudah ada jangan dirusak oleh orang-orang yang tidak mengerti akan Sejarah Dan Presiden Suekarno di acara HUT Kemerdekaan RI tahun 1966 di Gelora Bung Karno di Senayan menyatakan:
"Bangsa yang baik adalah Bangsa yang tidak melupakan Sejarah, Jangan Sekali kali melupakan Sejarah".
Posting Komentar untuk "Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi"